Jogja – Bagi beberapa orang, termasuk saya, kopi seakan menjadi teman setia disaat suka dan duka. Padahal, semasa remaja saya tidak pernah menyentuh kopi sedikitpun, dan lebih suka minum teh untuk mengisi kesendirian diwaktu santai. Wajar saja, masalah yang datang, kesibukan yang datang, dan tuntutan yang menghampiri tidak seribet seperti sekarang ini. Jadi, menjadi hal yang lumrah untuk tidak minum kopi.
Berbeda dengan sekarang ini. Semenjak saya masuk SMA, saya mulai terobsesi untuk minum kopi. Bukan semata-mata karena niat ingin mencoba-coba, melainkan menjadi tradisi umum ketika bertamu. Yah, masa SMA dibawah tahun 2012 tentu menjadi masa dimana kita sering berkumpul bersama. Berkumpul hanya untuk sekedar main catur, atau main gitar, atau sekedar main PES bersama dirumah teman.
Teman yang menjadi tuan rumah pun selalu menawarkan kopi. Sangat jarang saya temukan teman SMA yang menawarkan jus, atau susu. Mungkin wajar saja, karena laki-laki identik dengan sensasi. Maka kopilah yang menjadi pilihan utama.
Kopi hitam dengan manis yang minimal dan pahit yang dominan, menjadi selera banyak orang. Meskipun sekarang banyak beredar kopi sachet siap saji, namun secara pribadi saya lebih senang bernostalgia dengan kopi bubuk gilingan “heler” daerah sendiri. Mungkin terkesan kampungan, tetapi sensasi rasa pahitnya lebih melegakan pikiran dan mata.
Ingat kopi, maka ingat pula bergadang. Kedua hal ini agaknya tidak bisa dipisahkan. Terang saja, saat memasuki bangku kuliah dimana kita mulai dibebankan dengan tugas makalah, resume, presentasi, dan penelitian ilmiah, waktu tidur malam kita berkurang. Tingkat kesulitan tugas kadang membuat kita begitu pusing dan sekali-kali ingin berpikir masa bodoh dan meninggalkannya. Namun lagi-lagi, beban orang tua, harapan orang tua dan keluarga menjadi pemacu badan untuk lebih fokus dan berusaha maksimal, tentu saja ditemani dengan minum kopi.
Bagi saya, ada perasaan unik tersendiri setelah minum kopi. Terutama pada saat percobaan/ seduhan pertama. Rasanya, penat yang bertumpuk dikepala sejenak melarikan diri. Mata yang awalnya bersisa 3 watt mulai “melek” lagi, seakan timbul cahaya baru. Inilah rasa nyaman ketika minum kopi. Fokus pun datang, semangat pun timbul kembali. Memang kopi sungguh tidak mengecewakan.
Kita mungkin mempunyai selera, kadar, dan takaran kopi masing-masing. Namun, anehnya beberapa kali saya merasa kopi buatan orang lain itu lebih nikmat daripada kopi buatan sendiri. Sampai-sampai, sudah beli merk yang sama namun rasanya tetap berbeda dari buatan sendiri. Itulah nikmatnya ngopi. Disaat teman mungkin meninggalkan kita karena kesibukannya, disaat sahabat mungkin berlarian karena jodohnya sudah sampai. Di saat itulah kopi datang sebagai teman setia, yang siap menemani kita diwaktu sulit, kepepet, dan juga diwaktu bahagia.