Amri Yahya – “Terlihat jelas dari lukisan-lukisanmu, bahwa kamu adalah anak sungai dan gunung, anak matahari dan bulan, anak tanaman dan rumput. Kamu menyambut hidup dari muara Sungai Musi – dan kini bahkan dari lembah Sungai Nil, orang-orang adalah saksi hidup dari karya-karyamu yang hidup.”
Seperti itulah surat puitis yang pernah dituliskan oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 1976, Fuad Hassan kepada Amri Yahya saat karyanya digelar di suatu pameran di Mesir.
Para pencinta motif batik, tentu sudah mengenal nama besar Amri Yahya. Tapi mungkin sebagian dari kita belum mengenal sosok almarhum yang membawa nama besar Indonesia dan budayanya di kancah dunia.
Mengenal Lebih Dekat Amri Yahya
Amri Yahya lahir di Sukaraja, Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, pada tanggal 29 September 1939. Pendidikan seninya ditempuh di ASRI Yogyakarta (Ijazah I, 1961; Ijazah II, 1963), IKIP Yogyakarta (Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Jurusan Seni Rupa, 1971), Sertifikat Keramik Dinding dari Struktur 68 Bv, The Hague Holland (1980), dan pernah dianugerahi gelar Kehormatan Doktor Honoris Causa di Bidang Evaluasi Pendidikan Seni oleh Universitas Negeri Yogyakarta, 2001.
Sejak tahun 1977, tercatat sebagai anggota kehormatan International Association of Art (IAA) UNESCO Paris. Tahun 1996, Amri Yahya mewakili Indonesia dalam Konferensi Seni Budaya Islam se-dunia di Hofsra University, New york. Pada tahun 1972, mendirikan Galeri Amri pada saat Indonesia mempersiapkan diri sebagai tuan rumah Konferensi PATA 1974, juga mengangkat busana muslim ke kancah nasional (1977), didukung oleh Perwanida DIY. Tahun 1979, mendirikan HSRI (Himpunan Senirupawan Indonesia). Tahun 1990 bersama Joop Ave, A. Sadali dan AD Pirous turut menggagas Festival Istiqlal dan mengusulkan berdirinya museum Al Quran di Jakarta.
Karya-karyanya telah dikoleksi perorangan, pejabat negara dan lembaga, baik di dalam maupun luar negeri, yang mulai ia pamerkan sejak tahun 1957, di antaranya pameran tunggal keliling Eropa dan kawasan Timur Tengah pada kurun waktu 1976-1979. Pameran tunggal terakhir di luar negeri sekaligus untuk yang ke-5 adalah di Amerika, di Asean Art Museum, San Fransisco (1996). Pameran tunggal terakhir di Indonesia diadakan di Palembang (1999), di Jakarta (2000) berturut-turut di Taman Ismail Marzuki, dan di Komplek Bidakara.
Masa Muda
Ketika muda dulu, sebenarnya Amri ingin menjadi seorang penyair, tapi urung karena dia cukup realistis, bahwa jarang ada penyair yang hidup layak. Lalu dirinya ingin menjadi tentara, sayangnya ditentang oleh orangtuanya. Lalu ia memutuskan untuk menjadi pelukis karena baginya pekerjaan menjadi seorang seniman jauh dari hal-hal yang berhubungan dengan korupsi.
Amri Yahya mulai tertarik untuk menjadi pelukis batik karena Yogyakarta, di mana dirinya menjalani masa kuliah di ASRI, atau yang kini disebut ISI. Eksperimennya dengan batik disebutnya dengan teknik “hitam dan putih”, yang kemudian mendapat kesempatan utuk dipamerkan di Nong Gallery di San Francisco pada tahun 1974. Untuk menaikkan gengsi batik Indonesia, Amri saat itu menjual karyanya seharga Rp 5 juta, dan… laris!
Amri memang kemudian menjadi pelukis yang kaya raya. Putra asli Palembang ini juga kemudian mengembangkan usahanya dengan menjadi pengusaha batik. Kebanyakan lukisan batiknya berukuran besar, tapi ada juga yang dibuatnya untuk digunakan sebagai bahan untuk membuat pakaian – tentunya dengan harga yang sangat mahal. Ia juga sempat mendirikan Museum Amri Yahya yang berisi koleksi dari banyak karya-karyanya.
Sedihnya, museum ini sempat hancur karena kebakaran besar di tahun 2004, dan konon ini juga yang menjadi salah satu penyebab kesehatan Amri memburuk saat itu. Di tahun 2009, Amri Art Gallery kembali didirikan oleh keluarganya untuk mengenang jasa-jasa almarhum sekaligus menjadi tempat berkesenian untuk masyarakat umum.
Yang menarik dari Amri Yahya, setiap kali dirinya mendapat undangan ceramah atau pameran, dia selalu membawa kompor kecil, canting, lilin, dan peralatan membatik lainnya. Di sela-sela pameran dan ceramah yang dihadirinya, tak jarang dirinya mendemonstrasikan keahliannya dalam membatik.
Sebagai seorang pelukis batik kontemporer, Amri Yahya tentunya nggak hanya menggunakan peralatan membatik tradisional. Dirinya juga melukis dengan menggunakan akrilik, akuarel, dan cat minyak. Kebanyakan tema lukisannya adalah tentang Lebak Lubung – sebuah hamparan sawah di pesisir timur Sumatera Selatan yang indah.
Mengapa Lebak Lubung? Karena bagi Amri, Lebak Lubung adalah bagian dari masa kecilnya yang indah, dan menurutnya tempat itu adalah potret sebagaian besar rakyat Indonesia yang agraris.
Salah seorang pelukis maestro kita, Affandi, adalah salah satu pengagum Amri Yahya. Banyak pelukis Indonesia, baik yang sudah terkenal atau pemula, meniru gaya Amri. Amri Yahya masih punya mimpi yang lain, bahwa pada suatu hari nanti setiap provinsi di Indonesia mempunya galeri seni yang layak. Semoga mimpi besar Amri bisa diteruskan oleh orang lain ya?
Sangat mengagumkan, betapa seorang bocah sederhana yang masa kecilnya dihabiskan di pematang sawah di Palembang, berhasil menembus dunia dengan karyanya. Di saat banyak orang masih memandang sebelah mata akan sebuah budaya, Amri tetap berjuang sepenuh hati untuk mengabadikannya. Itu semua karena cintanya kepada budaya Indonesia, selain kegigihannya tentu saja.
Apa yang sudah sobat PKG YIA perbuat untuk melestarikan warisan budaya bangsa?