Uncategorized

Singkong Mbak Limbuk, Produk Olahan singkong inovatif

Diversifikasi pangan sebagai substitusi nasi di Yogyakarta bisa digalakkan lewat pengolahan singkong menjadi berbagai makanan. Jenis umbi-umbian ini bisa diolah hingga menjadi 72 macam masakan. Mulai dari tiwul hingga lauk pauk bahkan sup singkong. Bahkan, singkong bisa dibuat menjadi makanan seperti brownis dan keik.

“Kami menyosialisasikan berbagai olahan pangan dari telo (singkong) kepada ibu-ibu, sekolah, dan masyarakat umum,” kata Bonnivasius Esdharyanto, penggerak pengolahan singkong dari Pusat Studi Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat, Daerah Istimewa Yogyakarta, saat berdiskusi pada peringatan Hari Pangan ke-32 di Yogyakarta, Selasa, 16 Oktober 2012.

Kata telo, kata dia, memang sering digunakan sebagai kata umpatan kepada orang lain yang dinilai konyol, bodoh, dan menyebalkan. Namun, kata itu saat ini sudah tidak tepat lagi digunakan sebagai umpatan. Derajat telo sudah naik pangkat karena bisa menjadi alternatif makanan pokok di samping nasi. Tinggal pengolahannya saja yang bisa membuat masakan dari singkong itu menjadi lebih enak dan menarik.

Ia menambahkan, singkong masih banyak tersedia di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sangat mudah untuk mendapatkannya. Namun, singkong yang enak bukanlah singkong yang ditanam dengan banyak air, tetapi ditanam di galengan. “Saya berharap singkong ini menjadi primadona makanan lokal,” kata dia.

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tahun ini ditunjuk menjadi model pengembangan bahan pangan lokal bersama delapan provinsi lain di Indonesia dalam program ketahanan pangan nasional. Yogyakarta mengembangkan produktivitas mi instan dari tepung singkong di Gunung Kidul. Yaitu di Kecamatan Semanu dan Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunungkidul.

“Produksi umbi-umbian di Daerah Istimewa Yogyakarta sangat tinggi,” kata Asikin Chalifa, Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ia menyatakan, produksi singkong di Kabupaten Gunung Kidul mencapai 850 ribu ton per tahun dengan kualitas yang cukup bagus. Pihaknya juga memberikan bantuan alat teknologi dan bahan baku untuk pengembangan mi instan dan tepung singkong di Gunung Kidul. Bantuan senilai Rp 170 juta diberikan melalui kelompok usaha kecil menengah yang mengembangkan pangan lokal di Semanu dan Paliyan. Juga ada bantuan Rp 20 juta per unit usaha untuk penambahan bahan baku pangan lokal. “Saat ini dilakukan uji rasa mi isntan dari tepung singkong,” kata dia.

Setelah ada uji rasa dan nilai gizi, mi instan dari singkong baru diproduksi secara massal. Selain mi instan dari singkong, digenjot pula produksi bahan pangan lokal yang menghasilkan beras cerdas. Yaitu beras yang diproduksi dari ketela. “Kami masih akan memastikan kualitas dan mutu produk beras cerdas ini,” kata Asikin.

Jika mi instan dan beras cerdas itu bisa terwujud secara masal, diharapkan ini bisa menurunkan konsumsi beras sebesar 1,5 persen per tahun. Konsumsi beras di Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini mencapai 93,15 kilogram per tahun per orang. Konsumsi ini masih di bawah konsumsi beras nasional yang mencapai 100 kilogram per orang per tahun. “Kalau di Jepang hanya mencapai 60 kilogram per orang per tahun,” kata dia.

sibakul

Sibakul Jogja

You may also like...