Categories: Uncategorized

Sejarah tenun sebagai bagian budaya nusantara

TEMPO Interaktif, Yogyakarta -Selembar kain tenun bukanlah benda mati. Demikian perempuan Nusa Tenggara Timur memaknai kain tenun, yang menjadi kebanggaan mereka. Itu bukan sekadar warisan tradisi, tapi juga memiliki jiwa dan cerita, bahkan sejarah kehidupan.

Proses pembuatan selembar tenun pun bukan dibuat asal. Ada makna dan cerita. Misalkan seorang ibu yang menenun kain penuh perasaan kala menunggu proses kelahiran si jabang bayi. Atau beberapa remaja putri yang akan menikah membuat tenun saat dipingit. Tenun dipakai sebagai maskawin pernikahan, proses kelahiran, simbol pesta panen, dan mengiringi prosesi kematian.

Tenun juga dipakai sebagai pakaian sehari-hari, menjadi alat tukar-menukar, atau sebagai pembeda strata seseorang. Selembar tenun yang bernilai bahkan bisa ditukar dengan seekor kerbau.

Tenun sebagai identitas yang melekat kuat dalam kehidupan perempuan di sini. Setiap tenun memiliki nilai sejarah, perlambang inspiratif, apresiasi emosional, sekaligus mengandung nilai ritual. Di rumah panggung milik mereka, alat tenun diletakkan bersebelahan dengan dapur dan kandang binatang. Ketika tugas rumah tangga selesai, mereka mengerjakan tenun untuk mengisi waktu dan menabung untuk masa depan.

Dibandingkan dengan batik dan songket, pamor kain tenun masih jauh tertinggal. Warisan dan bagian hidup perempuan wilayah Indonesia timur ini seolah tertutup oleh tingginya angka kemiskinan. Padahal kain tenunan bernilai dan memiliki potensi ekonomi besar.

Dari ragam hiasnya, tenun memiliki ratusan motif. “Dua desa yang letaknya bersebelahan bisa memiliki variasi tenun dengan ragam hias berbeda,” kata Stephanus Hamy, perancang busana yang rutin mengangkat keindahan kain Nusantara.

Selama delapan tahun Hamy–demikian ia bisa disapa–menjelajahi pelosok kawasan ini untuk berburu tenun. “Saya terpukau oleh keindahan mahadaya tenun ini. Setiap tenun memiliki ciri khas personal meski dibuat oleh orang yang sama. Hasilnya akan berbeda, sebab mood (suasana hati) berpengaruh saat membuat. Tidak ada tenun yang sama persis satu sama lain,” ujarnya beberapa waktu yang lalu saat ditemui di Mal Pacific Place.

Karena itu, tak mudah bagi Hamy menggunting tenun ini. Terutama yang dibuat dari gedog. “Teknik gedog hanya dikuasai segelintir orang, membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki cerita yang lebih personal,” ujarnya. Sedangkan untuk tenun dari ATBM (alat tenun bukan mesin), ia bisa lebih “tega” mengguntingnya.

Di studionya, Hamy memiliki beberapa koleksi tenun NTT yang paling unik. “Salah satunya tenun yang punya motif berlubang.” Dia pernah memesan ulang tenun jenis ini kepada keluarga yang menjual. Namun pesanan itu ditolak. Menurut penjualnya, tenun ini dibuat sang nenek yang telah meninggal. Tak ada anggota keluarga lain yang bisa membuat tenun seperti itu. “Tenun memiliki hitungan tersendiri.” Hamy menyayangkan tak adanya perempuan di NTT yang mencatat “rumus-rumus” tenun di kertas sehingga bisa diajarkan secara turun-temurun. Mereka hanya mengingatnya di kepala.

Jadi, ketika si “penemu rumus”-nya meninggal, hilanglah ilmu “hitungan” tenun yang unik itu. “Ini bukan hanya sekali, tapi sering terjadi,” ujarnya. Kurangnya konsistensi para perajin tenun menjadi faktor utama sulitnya mengangkat tenun ke panggung mode. Beberapa kali Hamy pernah kembali dari NTT dengan tangan hampa. “Saya memesan tenun yang disanggupi untuk selesai dalam 6 bulan. Namun 6 bulan kemudian, benangnya saja belum bergeser dari tempatnya.” Menurut dia, perempuan di sini masih menenun berdasarkan perasaan, sehingga kesulitan bersikap konsisten memenuhi pesanan. Selain itu, mereka belum menyadari adanya potensi ekonomi yang tinggi melalui tenun.

Oscar Lawalata membenarkan kondisi ini. “Konsistensi mereka (para perajin tenun) memang masih rendah.” katanya. Sejak lama Oscar bercita-cita mengangkat khazanah budaya Nusantara dalam karya-karyanya, termasuk tenun wilayah ini. Secara jujur, ia terpikat oleh keindahan tenunnya, selain ingin mengangkat warga dari jurang kemiskinan. “Mahadaya tenun ini sangat luar biasa, tapi kita mesti berjuang ekstrakeras untuk menyajikan lebih baik lagi.”

Kendati kesulitan mendapatkan kain tenun yang tipis, toh tidak menyurutkan semangat Oscar. Bekerja sama dengan Laura Miles, perancang tekstil asal Inggris, dia membiayai proyek tenun NTT yang diberi nama “Weaving the Future”.

Setelah pergi ke Kupang untuk menengok sentra tenun setempat, ternyata mereka mendapati kain tradisional yang lama lebih halus dan tipis. Namun kain itu tak lagi diproduksi lantaran pengerjaannya membutuhkan waktu lebih lama. Akhirnya, setelah Oscar menjanjikan harga lebih tinggi, para perajin itu membuat tenun halus dan tipis. Sekarang, dia juga melakukan eksperimen tenun di pabrik tenun sutra Garut. Meski baru tahap awal, Oscar optimistis tenun bisa menembus pasar internasional. “Tugas saya sebagai perancang adalah mendekatkan karya ini kepada masyarakat,” ujarnya.

sibakul

Sibakul Jogja

Share
Published by
sibakul

Recent Posts

Jumputan jogja, Batik Jumputan, Inovasi Kunci Sukses dalam Berbisnis

Jogja - Batik jumputan merupakan salah satu jenis batik yang menggunakan teknik jumputan untuk membuat motifnya. Batik jumputan…

2 years ago

Blouse Kain Tenun Lebaran 2022, kamu pilih mana

TEMPO.CO, Jogja - Selain batik, kain tradisional yang kini sedang digemari adalah kain tenun. Hampir seluruh provinsi…

2 years ago

Baju lebaran etnik, buat kamu yang unik cantik dan enerjik

TEMPO.CO, Jogja - Momen Ramadan dan Lebaran biasanya kita akan disibukkan dengan berbagai acara. Mulai dari…

2 years ago

Desain Blouse kain tenun terbaru yang cocok di hari fitri

Yogyakarta, Saat ini di yogyakarta lagi hitz Tenun Macak Ethnic, tenun bisa menjadi busana Muslim…

2 years ago

Aksesoris kain tenun yang bisa bikin pede kamu, dari gelang hingga kalung

Jogja - Seperti yang disampaikan oleh pemilik Galeri Tenun Macak Ethnic, Selama libur Idul Fitri…

2 years ago

Atasan wanita kain tenun cocok buat lebaran nyaman buat jalan-jalan

Jogja -  Bulan suci Ramadhan selalu indentik dengan sesuatu yang mulia dan indah. Sama seperti…

2 years ago