Selokan Mataram – Ada perjuangan cerdik di Yogyakarta saat Jepang mulai menjajah kawasan pulau Jawa. Kala itu, daerah yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) IX menyiapkan strategi untuk ‘menghindari’ kerja paksa atau Romusha Jepang.
Pada tanggal 10 Januari 1942, Jepang mulai menduduki Indonesia untuk pertama kali tepatnya di wilayah Tarakan, Kalimantan Timur. Kemudian pada Februari 1942, wilayah jajahan diperluas hingga berhasil menduduki Sulawesi, Maluku, dan Sumatera.
Sampai akhirnya, Jepang berhasil memasuki pulau Jawa melalui peperangan di perairan pulau Bawean di Jawa Timur.
(Visiting Jogja)
Siasat & Perjuangan Yogyakarta Menghadapi Jepang
Dikutip dari situs Dinas Kebudayaan Yogyakarta, kekalahan Belanda kepada Jepang pada Maret 1942 menjadikan daerah Yogyakarta menjadi bagian dari daerah jajahan Jepang.
Menyadari hal ini, Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang saat itu memimpin, ternyata telah menyiapkan strategi untuk menghadapi penjajah Jepang.
Strategi ini pun dilakukan oleh rakyat Yogyakarta, sebab rakyat Yogyakarta pada dasarnya memiliki kepercayaan yang besar pada sang pemimpin, sehingga apapun titah atau perintah dari raja, rakyat akan melakukannya.
Salah satu siasat dari Sri Sultan HB IX ini adalah dengan memerintahkan rakyatnya membangun selokan. Pembangunan ini memiliki tujuan untuk mencegah Jepang membawa rakyat Yogyakarta menjalani kerja paksa atau Romusha.
Proyek pembangunan selokan ini akan menghubungkan Sungai Progo dan Sungai Opak yang kemudian disebut dengan ‘Selokan Mataram’.
Panjang Selokan Mataram
Melansir laman Indonesia.go.id, selokan Mataram berhulu di Sungai Progo tepatnya di Bendungan Karang Talun, Desa Bligo, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dan berhilir di Tempuran, Sungai Opak, Randugunting, Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Karang Talun setinggi 20 meter ini letaknya di perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta, di antara Magelang dan Kabupaten Kulonprogo.
Di bagian sisi kiri-kanan bendungan dibangun tangga berundak yang difungsikan sebagai fasilitas jalan inspeksi.
Bendungan buatan 1909 itu menjadi pertemuan dua saluran irigasi yakni selokan ini dan saluran Van der Wijck sepanjang 17 km. Van der Wijck juga dikenal juga sebagai selokan Mataram II, karena sumber airnya sama yakni Sungai Progo.
Adapun total panjang selokan Mataram yakni mencapai sekitar 30,8 hingga 31,2 km.
Selokan Mataram sebagai Bukti Perjuangan dan Sumber Kemakmuran
Selain sebagai wujud siasat menghadapi jajahan Jepang, selokan Mataram juga memiliki fungsi utama yakni sebagai saluran irigasi bagi masyarakat sekitar aliran selokan yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, selokan ini tidak hanya digunakan sebagai saluran irigrasi tetapi digunakan juga untuk hal lain seperti pengairan untuk kolam ikan, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di desa Bligo, hingga tempat wisata.
Diketahui, air di selokan ini juga terus mengalir meskipun pada saat musim kemarau. Hal ini, sesuai yang disampaikan oleh HB IX bahwa selokan Mataram adalah tempat air sebagai sumber dari kehidupan di Yogyakarta.
Atas siasat ini, di kemudian hari sejarah mencatat, bahwa pembangunan selokan ini bisa menghindarkan rakyat dari Romusha Jepang.
Sejak awal, Jepang tidak pernah menentang ide pembuatan selokan Mataram. Bahkan selokan yang dibangun pada 1942-1944, kemudian dinamai oleh Jepang sebagai kanal Yoshihiro.
Nama tersebut mengacu kepada nama jenderal perang Shimazu Yoshihiro (1535-1619) yang dikenal karena memimpin 300 pasukan dan mengalahkan 3.000 pasukan musuh pada Perang Kizakihira di Kyushu, 1572 lampau.