Pasar Kotagede YIA – Buat sobat yang sedang berada di ruang tunggu penumpang di dalam Bandara YIA maka sobat akan menjumpai sebuah tulisan besar Pasar Kotagede. Didalamnya terdapat Galeri UKM DIY dan Angkringan Malioboro yang menyuguhkan aneka macam produk dari UKM DIY. Konsep eksterior dan interiornya bernuansa khas Jogja, perpaduan antara Benteng Kraton dan suasana Malioboro dan Kraton.
Ketika masuk ke dalam Pasar Kotagede kita disambut oleh among tamu dengan pakaian jawa yang sangat apik, keramah tamahan dan senyumnya akan sulit di lupakan, ditambah alunan gamelan dan angkringan, bisa membuat kita ingin berlama-lama disana. Di galeri tersebut juga menghadirkan ribuan produk UMKM yang ditata layaknya etalase mall modern, aneka produk ditata secara apik dan menarik sehingga sulit untuk tidak membeli dalam jumlah banyak.
Model Pengelolaan Mitra Pasar Kotagede YIA
Jumlah UKM Mitra Galeri Pasar Kota Gede YIA sekitar 500 UKM dengan lebih dari 4000 produk. Jumlah tersebut masih tergolong sedikit jika dibandingkan dengan jumlah UMKM di DIY yang jumlahnya lebih dari 300 ribu. Untuk pengelolaan Pasar Kotagede YIA Dinas Koperasi dan UKM DIY menerapkan 2 model pergantian UKM, pertama dengan model sistem evaluasi setiap 3 bulan untuk melihat produk-produk yang banyak diminati dan yang tidak. Sehingga jika produk tidak diminati maka akan diganti dengan produk yang lain dan UKM lain.
Dan yang kedua adalah sistem rolling dimana secara berkala setiap UKM akan diganti dengan UKM lainnya, dengan maksud untuk memberi kesempatan UKM-UKM lebih merata, Penyegaran display produk, dan memperkenalkan UKM unggulan DIY lebih banyak lagi.
Untuk UKM mitra yang sudah tidak tampil lagi produknya maka ditampilkan di fasilitas Display Digital yang akan menghadirkan profil-profil pendek dari setiap UKM. DI Galeri Pasar Kotagede YIA terdapat sekitar 4 TV yang di sebar di beberapa titik yang di gunakan untuk Display promosi profil UKM Mitra.
Untuk menjadi mitra Galeri Pasar Kotagede YIA, UKM harus melalui Kurasi Pasar Kotagede YIA Dinas Koperasi dan UKM. Mitra PKG sebelumnya harus terdaftar sebagai mitra SIBakul Jogja yaitu satu platform aplikasi untuk pembinaan UKM DIY.
Setelah terdaftar sebagai mitra SiBakul Jogja peserta mengikuti kegiatan MarketHUB yang merupakan pasar digital UMKM DIY. di MarketHub UKM diminta mengupload beberapa produk yang nanti akan di bantu pemasarannya di SiBakul MarketHUB. Kurasi marketHUB adalah seputar kelengkapan data diri, data usaha, NIB dan konten produk yang di upload. Konten produk harus memiliki unsur-unsur
- Produk yang dijual adalah produk buatan UKM DIY
- Produk bukanlah produk yang dilarang atau melanggar hukum dan aturan, misal tas kulit dari hewan yang di lindungi dan minuman keras.
- Foto produk jelas
- Judul produk sesuai dengan nama produk yang di jual
- deskripsi produk informatif dan ada informasi kadaluarsa untuk produk makanan
- ada informasi berat kemasan dan dimensi
- serta mengisi titik lokasi pengambilan atau lokasi UKM untuk dibantu dengan program free ongkir dan sejenisnya.
Lolos dari MarketHUB maka bisa mengajukan Kurasi Pasar Kotagede dan mengikuti tahapan dari mulai verifikasi oleh Kabupaten Kota hingga kegiatan Kurasi Produk dan QC.
Verifikasi kabupaten/kota adalah seputar kelengkapan usaha, yaitu:
- NIB
- NWP
- KTP
- Jogjamark
- Pendaftaran HAKI
- dan PIRT untuk produk makanan
- untuk kelengkapan informasi UKM mengisi beberapa data, yaitu:
- Data diri
- Data usaha
- Aspek produksi
- Aspek Pasar
- Model Bisnis
Setelah lolos verifikasi, UKM akan mendapatkan pemberitahuan jadwal kurasi, dan ketika pelaksanaan UKM membawa produk yang akan di nilai oleh kurator, Kurator akan memutuskan tiga konsisi, yaitu Lolos, Lolos dengan catatan, dan tidak lolos.
Untuk status lolos dengan catatan, UKM harus melaksanakan rekomendasi sesuai catatan kurator dan mengisi form konfirmasi sudah melakukan rekomendasi.
Untuk yang lolos UKM eakan mendapatkan informasi jadwal QC yang kemudian produk mulai di pasarkan di Galeri Pasar Kotagede.
Semua tahapan dilakukan secara online melalui aplikasi SIBakul Jogja, kecuali kegiatan kurasi produk, dimana akan ada penilaian langsung dari Kurator kepada produk UKM.
Konsep Galeri PKG YIA
Pasar Kotagede di Bandara YIA ini tidak hanya menjadi tempat bertemunya para konsumen, tetapi juga ada konsep untuk pelestarian budaya. Konsepnya selain Galeri yang menampilkan produk kebudayaan, seperti Gamelan, Wayang dan alunan musik Jawa, juga dengan mengintegrasikan nilai-nilai budaya dalam bentuk pelayanan kepada pembeli, penataan eksterior dan interior, serta pengenalan budaya melalui literasi digital yang di tampilkan di media display, dan media cetak yang disediakan.
Untuk konsep penataan produk Galeri Pasar Kotagede pengelompokannya dijajar sesuai jenisnya, bukan asal daerahnya. Ketika berkeliling di galeri dengan luas sekitar 1.200 meter persegi ini akan dijumpai barang-barang yang dijual antara lain aneka minuman tradisional, makanan oleh-oleh, boneka, kacamata dengan bingkai kayu, stick drum, aneka pernak-pernik, hingga kaos dan pakaian batik.
Mengenal Pasar Legi Kotagede
Galeri Pasar Kotagede YIA diambil dari nama pasar legendaris di daerah Kotagede Kota Yogyakarta, yaitu Pasar Legi Kotagede. Diambil dari tulisan Theresiana Ani Larasati dengan judul PASAR KOTAGEDE yang di publikasikan oleh DPAD di alamat http://dpad.jogjaprov.go.id/public/article/526/PASAR_KOTAGEDE.pdf.
Pasar Legi Kotagede yang telah ada sejak zaman Ki Gede Pemanahan. Pasar yang dikenal dengan sebutan Pasar Gede atau Sargede tersebut dibangun terlebih dahulu pada saat Ki Gede Pemanahan akan membuka sebuah kota di atas hutan Mentaok.
Keputusan untuk membuka pasar terlebih dahulu dinilai banyak orang sebagai keputusan yang sangat tepat, karena pasar merupakan jantung perekonomian. Keberadaan pasar menggeliatkan perdagangan, sehingga kota menjadi tumbuh dan berkembang pesat, ramai dan makmur.
Pasar Kotagede telah beberapa kali mengalami pemugaran, namun letak Pasar Gede tidak berubah sejak zaman Mataram. Pasar Kotagede merupakan bagian dari konsep Catur Gatra Tunggal, yang berarti empat tempat atau wahana menjadi kesatuan tunggal. Keempat tempat tersebut terpisah oleh koridor jalan-jalan namun merupakan satu kesatuan.
Keempat tempat atau wahana tersebut meliputi: pasar sebagai pusat perekonomian, alun-alun sebagai pusat budaya masyarakat, masjid sebagai pusat peribadatan, dan keraton sebagai pusat kekuasaan.
Menurut sumber sejarah diceritakan bahwa Kotagede adalah sebuah kota lama dari abad ke-16 yang pernah menjadi ibukota Kerajaan Mataram Islam. Kotagede didirikan oleh Ki Gede Pemanahan.
Bumi Mataram diperoleh Ki Gede Pemanahan ketika bersama Ki Penjawi berhasil menumpas kerusuhan Pajang yang dipimpin oleh Arya Penangsang. Atas keberhasilannya tersebut, Raja Pajang, yaitu Sultan Hadiwijaya memberikan hadiah kepada Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi berupa tanah di Pati dan Mataram.
Ki Gede Pemanahan memilih Mataram yang pada waktu itu masih berupa hutan. Setelah menerima bumi Mataram, Ki Gede Pemanahan menjadi penguasa daerah tersebut dan kemudian bernama Ki Gede Mataram atau Ki Ageng Mataram.
Beliau mempunyai putra yang bernama Sutawijaya, yang diangkat menjadi anak angkat Sultan Hadiwijaya di Pajang. Sutawijaya dikenal dengan nama Ngabehi Loring Pasar. Nama tersebut kemungkinan besar menunjukkan bahwa tempat tinggal Sutawijaya berada di sebelah utara (lor) pasar. Kondisi yang digambarkan di atas menjadi semacam bukti terhadap keberadaan pasar Kotagede yang sudah ada dan dibicarakan sejak masa Ki Gede Pemanahan.
Hanya saja, Pasar Gede dahulu belum seluas seperti sekarang ini. Selain itu, pada masa lalu di Pasar Gede masih banyak ditumbuhi pohon perindang. Gambaran pasar zaman dahulu dengan pasar tradisional sekarang sangat berbeda jauh. Transaksi atau aktivitas jual beli pada waktu dulu dilakukan di bawah pohon-pohon rindang, atau di bawah payung-payung besar.
Para penjual duduk di atas tanah. Barang-barang yang didagangkan sebagian besar merupakan hasil pertanian yang berupa beras, sayur mayur, dan buah-buahan. Hasil bumi tersebut dibawa ke pasar dengan cara dipikul atau digendong dari desa tempat ditanamnya hasil bumi tersebut.
Transaksi yang paling ramai di Pasar Gede terjadi pada hari pasaran Legi (hari menurut kelender Jawa). Pada hari pasaran tersebut, selain dijual berbagai kebutuhan hidup sehari-hari seperti: hasil pertanian, makanan siap saji, obat-obatan, ikan, tembakau, dan garam, juga dijual kain batik, barang-barang dari besi dan tembaga.
Barang-barang yang terbuat dari besi dan tembaga meliputi: alat penanak nasi yang terbuat dari tembaga, sabit, cangkul, dan pisau. Dijual pula aneka gerabah, seperti: kendil (alat penanak nasi), kendi (tempat air minum), dan kain seperti: katun dan batik. Untuk keperluan membatik, dijual di Pasar Gede berbagai alat pendukungnya, seperti: lilin, malam, dan celupan yang setiap harinya terjual dalam jumlah yang besar.
Dalam hal makanan kecil atau kudapan, Kotagede terkenal dengan hasil industri rumah tangganya yang disebut kue kipa dan yangko. Yangko dari Kotagede telah meramaikan kuliner di pasaran sejak tahun 1921, dengan merk Ngudirasa. Yangko merupakan makanan kecil yang dibuat dari beras ketan.
Proses pembuatannya membutuhkan ketekunan dan kesabaran karena membutuhkan waktu cukup lama dan sulit, sehingga tidak setiap orang sanggup membuatnya. Pembuat yangko yang pertama kali adalah Bapak Adulah Ma’ruf, kemudian dilanjutkan oleh keturunannya, yaitu Mbah Alip, sampai pada Bapak Suprapto di Jalan Pramuka No. 82, Kotagede.
Makanan khas Kotagede lainnya adalah kipa. Makanan yang terbuat dari tepung beras ketan, kelapa, dan gula Jawa adalah makanan yang sangat enak dan legit, namun tidak dapat bertahan lama atau mudah basi. Karena jenis makanan ini tidak awet, maka saat ini tidak banyak orang yang bertahan meneruskan usaha membuat kipa. Salah satu perajin kipa yang masih bertahan dan laris hingga kini adalah usaha kipa milik Ibu Istri Rahayu, Jalan Mondorakan No. 27 Kotagede.
Selain itu, perhiasan yang terbuat dari emas, perak, atau batu permata juga meramaikan transaksi yang terjadi di Pasar Gede. Bahkan, reputasi hasil kerajinan dari emas dan perak yang dibuat di Kotagede terkenal sampai keluar daerah dan di seluruh penjuru Pulau Jawa.
Hasil kerajinan Kotagede terkenal karena mempunyai desain yang halus dan asli, meskipun ada pengaruh desain Eropa. Hasil kerajinan tersebut antara lain berupa: keris, tangkai keris, sarung keris, cincin keris, timang, rantai, anting-anting, cincin, piring, tutup gelas, patung kecil, dan ikat pinggang.
Banyaknya barang-barangyang dijual di Pasar Gede membuat pengunjung yang datang ke pasar ini dapat dengan mudah mencari dan mendapatkan berbagai macam kebutuhan yang diperlukan, terutama hasil kerajinan yang tidak ada di tempat lain.
Menurut catatan sejarah, di sekitar tahun 1930, pernah ada beberapa orang dari etnis Tionghoa menetap dan berdagang di Kotagede. Keberadaan mereka tersebar di beberapa tempat, seperti di sebelah utara Babon Aniem terdapat toko yang menyediakan beraneka peralatan dapur dan pakaian.
Pemiliknya dikenal dengan nama Bah Obral karena sering menjual barang dagangannya dengan cara diobral. Di sebelah timur toko Bah Obral bermukim pula warga etnis Tionghoa lainnya yang berjualan gula batu.
Selain itu, di bagian timur pasar ada pula warga Tionghoa yang dikenal dengan nama Bah Obong. Sebuah sumber menyebutkan bahwa sebenarnya tidak ada konflik sosial antara masyarakat asli dengan warga Tionghoa yang berdagang dan bermukim di Kotagede. Namun ketentraman tersebut terusik saat Jepang masuk Kotagede pada tahun 1943.
Ada sekelompok orang yang memaksa Bah Obral meninggalkan tempat usahanya. Sekelompok orang tersebut membuka paksa toko Bah Obral dan menjarah barang dagangan yang ada di tokonya. Barang jarahan dari toko Bah Obral kemudian dibagi-bagikan secara gratis kepada masyarakat di sekitar pasar yang menerimanya dengan kebingungan karena tidak mengerti kejadian yang sebenarnya.
Setelah kejadian tersebut, Bah Obral pun meninggalkan tokonya dan tidak bermukim di Kotagede. Perkembangan Pasar Gede di masa Pemerintahan Hindia Belanda tampak dari pembangunan los-los pasar yang seragam di pasar-pasar tradisional, menggunakan konstruksi besi yang khas.
Menjelang tahun 1960 berdiri kios di sebelah utara dan barat pasar Kotagede. Kawasan pasar Kotagede pada waktu itu masih dikelilingi pagar kawat berduri, dan di dalam pasar ditumbuhi pohon waru besar. Di dalam Pasar Gede pada waktu dulu ada warga pendatang dari luar Kotagede yang menetap di sana, antara lain: pedagang arang, kayu bakar, warung nasi dan aneka minuman panas dan dingin.
Salah satu penghuni pasar yang legendaris bernama Beles, terkenal karena profesinya sebagai Bandar judi yang digelar tiap malam di tengah pasar. Nama Pasar Kotagede saat ini membaur dengan sebutan Pasar Legi sehingga Pasar Gede kadang juga disebut sebagai Pasar Legi atau disingkat Sarlegi.
Dalam perkembangannya, nama Pasar Legi sedikit demi sedikit menggeser nama pasar yang sebenarnya, bahkan nama Pasar Legi dituliskan di atas gerbang pintu utama pasar.
Beberapa sumber mengemukakan pemikirannya bahwa sebaiknya nama Pasar Legi dikembalikan ke nama semula, yaitu Pasar Gede atau Pasar Kotagede, sebagai langkah kembali menyatukan jejak-jejak sejarah, dan mendukung Kawasan Kotagede sebagai kawasan cagar budaya.
Pasar Kotagede sendiri merupakan salah satu cagar budaya dan disebut sebagai pasar tertua yang memiliki keterkaitan historis dan filosofis dengan Kerajaan Mataram Islam.