TEMPO Interaktif, Selasa pekan lalu, Nancy Go mengenakan pakaian hitam. Bukan karena sedang berduka, melainkan hitam-putih merupakan warna netral menjadi favorit perancang tas yang biasa disapa Nancy ini.
Seleranya yang klasik itu tertuang dalam rancangan tas tangan yang bergaya vintage yang tetap trendi sepanjang zaman. “Saya berharap tas ini kelak dapat diwariskan dari ibu ke anak hingga ke cucu mereka,” ujarnya.
Tak mengherankan jika dalam satu dasawarsa berkarya, Bagteria–merek tas rancangan Nancy–mendapat tempat di hati pencinta mode. Putri Zara Philips, sosialita Paris Hilton, aktris Emma Thompson, hingga bintang Prancis Audrey Tautou adalah sederet nama yang pernah terlihat memakai Bagteria untuk melengkapi penampilan mereka.
Sebuah rumah makan di jantung Ibu Kota menjadi tempat pertemuan Nancy untuk sesi wawancara dengan Tempo. “Rumah makan ini milik saya dan keluarga,” kata Nancy sore itu. Selain bisnis tas, Nancy rupanya merambah bisnis makanan sejak awal 2010. Di rumah makan ini, dia pun bercerita tentang Bagteria yang bermula dari hobi dan cinta.
“Dari dulu saya demen kerajinan tangan,” ujarnya. Baju dan selendang pernah ia rajut dan sulam sendiri sebelum menamatkan sekolah menengah. Lembaga Pengajaran Tata Busana Susan Budihardjo dan Academy of Arts San Fransisco menjadi sekolah lanjutan yang ia pilih. Nancy tak lama bekerja sebagai merchandiser untuk fashion apparel di sebuah perusahaan asing. Dia bertemu dengan calon suaminya, Bert Ng, di Singapura. kemudian ia menikah di usia 21 tahun, dan berhenti bekerja demi membesarkan tiga anaknya.
Tahun 2000 menjadi titik kembalinya Nancy di dunia mode. Di bawah bendera PT Metamorfosa Abadi milik suaminya, Nancy merancang Bagteria untuk pemakaian sehari-hari dan untuk pesta. “Bagteria terdengar lucu. Seperti bakteri bersayap, kami berharap tas ini dapat menyebar dan mewabah ke seluruh dunia,” katanya.
Tak hanya mendesain, Nancy juga terlibat dalam proses produksi pada awal pembuatan tas Bagteria, yang keseluruhannya dibuat dengan tangan (handmade). Dari garasi rumah di Jakarta Barat, workshop berpindah dengan menyewa rumah tetangga depan serta tetangga kiri dan kanan, hingga akhirnya menyewa satu tempat berjarak 10 menit dari rumah mereka. Karyawan pun bertambah, dari lima orang menjadi ratusan. “Selama tiga bulan pertama, perajin tas hanya belajar teknik sulam dan rajut, setelah dianggap lulus baru boleh terlibat mengerjakan tas,” ucap wanita berkulit putih ini.
Teknik rajut sulam dengan bahan unik menjadi ciri desain Bagteria. Dari kristal swarovski, manik, payet, batuan semi-precious, hingga emas dan perak dalam ukuran milimeter semuanya dijahit secara teliti satu per satu. Dia pun menggunakan bahan dari bulu domba, kulit belut, piton, ostrich, kulit ikan salmon, dan gading mammoth. Untuk bahan-bahan ini, ia memesan langsung ke Siberia, Islandia, dan Afrika. Meski begitu, Nancy juga memanfaatkan bahan lokal, seperti kulit piton, kulit buaya, kerang, kayu, dan perak dari perajin Bali dan Yogya.
Karena bahan bakunya unik, jumlah tas rancangannya pun terbatas. “Satu desain hanya untuk 299 tas, dan hanya ada tiga warna yang sama dari satu desain,” ujar Nancy, yang membanderol harga tas berkisar Rp 1-8 juta untuk pasar Indonesia. Harga ini tergolong murah bila diukur dari nilai desain, proses pencarian bahan baku, dan tingkat kerumitan produksi. Di luar negeri, harganya naik dua kali lipat. Dalam setahun, Nancy merancang 20 desain untuk musim panas dan dingin, serta 3 desain di musim liburan.
Bagteria pertama kali diluncurkan di Hong Kong pada 2000. Saat itu ia menilai masyarakat internasional lebih menerima tas rancangannya ketimbang masyarakat Indonesia. Hingga kini tas rancangannya sering dianggap terlalu mahal. Di Hong Kong, ia memilih satu distributor sebagai master franchise yang menyebarkan Bagteria ke butik pilihan. Dua tahun kemudian, ia menembus pasar Jepang dengan cara yang sama dan negara-negara eropa di tahun berikutnya. Kini Bagteria tersebar di 30 negara termasuk Italia, Prancis, Inggris, AS, Jepang, dan Kuwait. Di Indonesia, Bagteria bisa ditemukan di Seibu dan Alun-alun Indonesia.
Ada satu pengalaman paling berkesan ketika Nancy berjalan-jalan di Hong Kong bersama distributornya. Di salah satu butik ia melihat ada yang meniru tas rancangannya. Meski tampak mirip dari kejauhan, teknik rajut dan sulam tak sehalus buatan Nancy. “Saya bete.” Namun ia teringat Coco Chanel pernah berkata, “Bila suatu hari barang kamu tidak ditiru lagi, kamu boleh bersedih.” Barulah ia meniru filosofi perancang legendaris asal Prancis itu. “Kemudian perasaan saya menjadi lebih baik.”